Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz; dia berkata, “Rasulullah mengutus untuk mengumumkan pada pagi hari asyura’ di wilayah kaum Anshar yang berada di sekitar kota Madinah.

من كان أصبح صائما فليتمّ صومه ومن كان أصبح مفطرا فليتمّ بقية يومه
Barang siapa yang pagi hari ini berpuasa, hendaklah menyelesaikannya. Barang siapa yang tidak berpuasa, hendaknya menahan (makan dan minum) sampai malam.’

Setelah adanya pengumuman itu, kami berpuasa dan mengajak anak-anak untuk melaksanakan puasa. Kami juga mengajak mereka ke masjid dan memberikan mereka mainan dari kulit (wol). Jika mereka menangis karena lapar, kami menyodorkan mainan sampai waktu berbuka puasa tiba.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di antara pelajaran yang bisa diambil dari riwayat di atas adalah:

[1] Para sahabat sangat perhatian untuk mengajak dan mendidik anak-anak mereka melaksanakan puasa.
Ini jelas terlihat pada strategi mereka membuat mainan dan mengalihkan perhatian anak-anak mereka dari keinginan untuk makan, sehingga puasa mereka tuntas dan sempurna.

[2] Anak-anak yang diperintah berpuasa oleh para shahabat adalah anak-anak yang masih dalam usia kanak-kanak.
Hal ini dipertegas oleh ucapan Rubayyi’ binti Mu’awwidz, “Kami mengharuskamn anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa.” Juga ucapan Rubayyi’, “Maka kami membuat sebuah mainan dari kulit untuk mereka. Jika salah satu dari mereka menangis karena merasa lapar, kami menyodorkan mainan kepadanya.” Ini  tentunya dilakukan kepada anak yang masih berusia kanak-kanak, tidak dilakukan kepada anak yang sudah besar.

[3] Bersikap hikmah dan cerdas saat beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap anak-anak.
Termasuk pelajaran yang bisa diambil di sini adalah tindakan para shahabat membuatkan mainan untuk anak-anak mereka –saat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua mengambil contoh dari tindakan para shahabat tersebut, serta menerapkannya dalam melakukan amar ma’ruf kepada anak-anak mereka.

[4] Para shahabat sangat perhatian untuk mendidik anak-anak mereka melaksanakan puasa ‘asyura. 

Bagaimana perhatian mereka terhadap puasa Ramadhan setelah diperintahkan? Untuk mengetahuinya, mari kita cermati ucapan Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu terhadap peminum khamr yang dihadapkan kepadanya pada bulan Ramadhan, “Celaka kamu! Anak-anak kami yang masih kecil saja berpuasa.” Kemudian beliau memukulnya. (Shahih Al-Bukhari, no. 1690)

[5] Salah satu puasa yang dilakukan anak-anak para shahabat adalah puasa ‘asyura.
Puasa ini dihukumi marfu’ (atas persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya. Berkaitan dengan ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Menurut pendapat yang shahih di kalangan ahli hadits dan pakar ushul, jika ada shahabat yang mengatakan, ‘Kami lakukan itu di zaman Nabi,’ maka hal tersebut dihukumi marfu’. Sebabnya, pada dasarnya Rasulullah mengetahuinya, dan kesepakatan para shahabat membenarkannya, serta ada kesempatan bagi mereka untuk bertanya kepada Nabi tentang masalah hukum. Dengan demikian, tidak ada peluang untuk berijtihad dalam masalah ini. Oleh sebab itu, perbuatan yang mereka lakukan adalah berdasarkan tauqifi (perintah syar’i yang tidak bisa dibantah). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 4:201–202 secara ringkas)

Al-’Allamah Al-’Aini mengatakan, “Sesungguhnya jika ada shahabat yang mengatakan, ‘Kami lakukan demikian di zaman Nabi,’ maka hukumnya marfu’, sebab diamnya Nabi menunjukkan pengakuan beliau atas tindakan itu; jika beliau tidak ridha tentu beliau akan mengingkarinya.” (Umdatul Qari’, 11:70; lihat juga Nailul Authar, 4:274)

[6] Disyariatkan untuk melatih anak-anak berpuasa.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan, “Dalam hadits ini terdapat hujjah (dalil) tentang disyariatkannya pembiasaan bagi anak-anak yang berada dalam usia yang disebutkan dalam hadits, masih belum mukallaf (terkena beban hukum). Mereka melakukannya sebagai ajang latihan.” (Fathul Bari, 4:201; lihat ‘Umdatul Qari, 11:70; Nailul Authar, 4:273)

Ibnu Qudamah menjelaskan perkataan Imam Al-Khiraqi, “Kalau anak berumur sepuluh tahun dan sudah mampu berpuasa maka ia harus diperintakan untuk melakukannya.” Beliau mengatakan, “Artinya, sang anak diharuskan berpuasa dan dipukul bila meninggalkannya. Hal ini ditujukan sebagai pembiasaan dan latihan, sebagaimana dia perintahkan shalat dan disuruh melakukannya (sejak usia dini).”

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Atha, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Qatadah, dan Asy-Syafi’i.

Al-Auza’i berkata, “Bila anak kecil mampu menahan puasa selama tiga hari berturut-turut, tidak batal, juga tidak merasa lemah, maka (hendaknya) ia dipaksa untuk berpuasa Ramadhan.”

Di sisi lain, Ishaq mengatakan, “Aku menyukai bila anak yang telah menginjak usia dua belas tahun diharuskan berpusa supaya dia terbiasa.” (Fathul Bari, 4:200 dan ‘Umdatul Qari, 11:69)

Kendati demikian, menjadikan usia sepuluh tahun sebagai paramater adalah lebih baik sebab Nabi menyuruh untuk memukul anak kecil jika meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun. Menjadikan patokan usia dalam memerintahkan anak berpuasa dengan menggunakan patokan usia perintah untuk mengerjakan shalat adalah lebih pantas, karena faktor kedekatannya. Juga karena keduanya berstatus ibadah badaniyyah dalam rukun Isam, meskipun puasa lebih berat. Oleh sebab itu, dalam hal ini faktor kemampuan tetap diperhitungkan, sebab ia (anak tersebut, pen.) mungkin bisa mengerjakan shalat tapi tidak mampu berpuasa.” (Al-Mughni, 4:412–413; lihat juga Al-Muhalla, 6:462, masalah no. 805)

Dari pernyataan Ibnu Qudamah kita dapat mengambil pelajaran bahwa anak kecil diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana ia diperintahkan untuk shalat. Sebagian ulama juga menyatakan pendapat demikian meski mereka berbeda pandangan dalam hitungan usia anak mulai diperintah untuk mengerjakan perintah-perintah syariat tersebut.

[7] Perintah kepada anak tidak hanya untuk mengerjakan shalat dan puasa.
Akan tetapi, juga menjadi kewajiban para ayah dan ibu untuk memandu mereka melaksanakan amalan ketaatan lainnya. Tujuannya, agar mereka terbiasa dan terlatih untuk melakukannya sebelum mereka memasuki usia aqil baligh. Bertalian dengan hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz, Imam An-Nawawi menarik sebuah kesimpulan, “Dalam hadits ini tersirat pelatihan bagi anak untuk mengerjakan amalan ketaatan dan membiasakan mereka untuk beribadah walau mereka bukan mukallaf.” (Syarh An-Nawawi, 8:14)

Terbukti, para shahabat dahulu sangat antusias untuk mengikutsertakan anak-anak mereka dalam ketaatan serta melatih dan membiasakan mereka dalam ketaatan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Sa’d dan lainnya meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Abbas; beliau berkata, “Tanyailah aku tentang tafsir, sesungguhnya aku telah menghafal Alquran pada usia dini.” (Fathul Bari, 9:84)

Ringkasnya, anak-anak diperintahkan untuk mengerjakan amal ketaatan supaya mereka terbiasa dan bersimpati sebelum menginjak usia baligh. Dengan demikian, mereka akan mudah melaksanakannya saat berusia baligh.

Disarikan dari buku Mendakwahi Anak (Dasar dan Tahapannya), hlm. 58—66, karya Dr. Fadhl Ilahi, Cetakan Kedua (Mei 2006), Darus Sunnah Press, Jakarta Timur.

Post a Comment Blogger

 
Top