Dear netters, Mohon sharingnya kalo yg punya pengalaman. Anak saya perempuan 4 th. Nakalnya minta ampun. Nakalnya anak-anak sebetulnya. Sudah ada adiknya umur 6 bulan, dan sudah TK kecil. saya coba untuk tegas dgn dia, dan kadang2x sampai menangis, dan sering saya sentil juga.

Saya punya pendapat, selagi dia belum mengerti artinya berontak, saya mendidik dia dengan tegas, karena begitu sudah SD kelas 2 atau 3, mungkin sudah tidak bisa dengan cara yang keras.


Saya juga tidak tahu
apakah cara saya tersebut benar atau salah. Mohon pendapat dari Bapak2 atau Ibu2. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.

Papanya Lia

Halo Papanya Lia, sekedar sharing...

Saya tidak bisa menghakimi Anda salah atau tidak, karena pasti tujuan Anda
baik.

Memang, kadang-kadang saya lihat banyak orang tua "kehilangan kesabaran"
kalo pas anak kita benar-benar susah diatur. Anak saya juga demikian. Dia
(perempuan, 3,4 th) sedikit "membangkang " kalau saya atau ibunya
menyuruh/melarang apa yang harus dan tidak harus dilakukan, dengan suara
yang keras. Misalnya dengan kalimat: "Dek, nonton TV jangan dekat-dekat!".
Dia lebih menurut ketika saya atau ibunya bilang: "Dek, kalau nonton TV
dekat-dekat nanti matanya dikasih kacamata Dora lho..". Langsung deh anak
saya mundur. Sejarahnya, dia pernah melihat mamanya memakai softlens
coklat. Tanya anak saya, "Mama sakit ya matanya, kok pakai mata Dora sih?"


Selain itu, saya termasuk ayah yang jarang bersuara keras/marah-marah

kepada anak saya. Jadi kali dia susah diatur karena satu hal, saya tinggal
melakukannya dengan kalimat/cerita seperti kasus "mata dora" di atas. Kalau
nggak mempan, saya bilang dengan suara pelan (tidak membentak), "Lintang
nurut nggak sama ayah?" atau "Lintang mau ayah marah?." Kalimat ini senjata
pamungkas saya, karena dia takut kalau saya sampai marah. Karena bagi dia
"marah" itu menakutkan...


Sampai saat ini saya masih "mengakali" anak saya untuk tidak melakukan

hal-hal yang kurang baik dengan hal-hal yang sering dijumpai anak saya
(Misalnya Dora, atau dari buku-buku cerita yang sering kami bacakan).
Karena dengan begitu, saya melihat dia lebih responsif atas larangan/aturan
yang kita berikan. Jika sudah tiba masanya nanti, saya akan
memperkenalkannya dengan hal-2 yang lebih realistis. Misalnya: Menonton TV
dekat-dekat itu akan merusak mata, dsb, dsb...


Mungkin itu ceita saya. Semoga bisa menjadi gambaran...



Ayah Lintang




Pak Wardi...
Ini saya kutipkan email dari milis psikologi yang mungkin ada kesamaan kasus dengan Bapak...
Mungkin bisa memberi sedikit ketenangan atau menimbulkan ide/jalan keluar....

====>
Mas Toge penah nanya padaku,
Waktu daku ceritakan bahwa anak umur 10 tahun di Bld disweep siapa yang membutuhkan dukungan tumbuh kembang menjelang remaja. Nah daku minggu lalu cerita anakku dipanggil dinas kesehatan kota c/q untuk urusan special needs children yang perlu perhatian ekstra dalam mengembangkan sosial emosional. Dalam hal ini si Mokamat Entong -ku itu akan ditraining mengenai pengembangan sosial emosionalnya karena dia pun termasuk special needs children yaitu anak gifted (berbakat).

Special needs children kalau boleh kudongengkan, adalah anak-anak dalam kurva lonceng berada di pinggir sebelah kiri dengan IQ below, dan yang paling ujung sebelah kanan (IQ tinggi), anak-anak IQ normal tetapi mengalami learning disabilities, anak-anak yang mengalami gangguan mental dan perilaku menyimpang karena gangguan neurologis bawaan, ataupun anak-anak yang mengalami depresi atau stress karena berbagai hal (broken home, salah asuh, trauma, dll), serta anak-anak yang mengalami gangguan fisik primer (buta, tuli, bisu, cacat fisik).


Berkaitan dengan anak-anak gifted tadi, karena dari pengalaman di Bld, sebagian besar anak-anak highly gifted mengalami berbagai pengalaman yang pahit (kecilnya sering disangka gangguan mental & perilaku lalu kesasar diagnosa), disangka bodoh karena gak mau ngapa-ngapain selain apa yang menjadi perhatiannya, keras kepala, over selective gara-gara
perfeksionist, seperti gangguan konsentrsi, day dreaming, telat bicara, bahkan cara berfikir yang gestalt sering berbenturan dengan cara berfikir temannya. Kalau dikasih tahu mbantah ngeyel muter kesana kemari cari alternatif melulu gak praktis....Pokoke seru dah. Cuma satu soal saja, yaitu perfeksionistnya sudah sering membuat perkara kalau sedang main kejer-kejeran, tak umpet, dan olah raga. Dia sering marah kalau ada yang rada ngaco dikit, trs marah dan nangis....Kalau dia rasa dia goblok, dia gak bakal mau ikut tanding, padahal biasanya juara satu melulu. Dia bisa main organ/orgel dalam waktu singkat -belajar sendiri tapi gak mau maju naik panggung waktu ada kesempatan karena katanya dia bukan anak yang kebisaannya liwat kursus jadi malu-maluin, katanya. Padahal anak-anak yang naik panggung mainnya gak segape si Mokamat Entong.

Jadi makanya kok emak bapaknya si Mokamat Entong ini kerjanya sejak dia ketahuan anak gifted waktu umur 3 tahun tea, kerjanya dipanggil mulu kiri kanan oleh dokter, psikolog, pedagog, konselor dll. Weh... Jadi sepanjang periode, anak-anak ini dievaluasi melulu trs orang tuanya dikasih buku, dikasih kursus, disuruh ikutan seminar dlsb. Ternyata memang kali ya, para orang tua, masyarakat, dan fihak profesional memerlukan cara pandang baru terhadap tumbuh kembang anak-anak gifted ya? Laporan di banyak buku ttg pedagogi anak gifted itu,

anak-anak itu sering bikin bete orang tuanya. Sejak bayi sudah, sebab motorik kasarnya terlampau maju, banyak gerak luar biasa. Lalu masa kecilnya digebukin melulu... waduh... makanya kok daku & bapaknya pernah diamati oleh psikolog & orthopedagog, dengan kesimpulan konon daku terlalu lembek dan bapaknya terlalu keras.... jadilah kita pernah
sepanjang hari dapat training khusus oleh seorang orthopedagog yang datang ke rumah.

Nah daku cuma mau cerita tegasnya menjawab pertanyaan Mas Toge minggu lalu, alat yang dipakai apa.Alat yang dipakai, gak tahu, karena belum ikutan. Tapi daku sudah dapat brosur penjelasan secara singkat. Namanya Creative Play Therapy (Training). Untuk anak-anak gifted ini memanfaatkan kemampuan Kreatifitas & kemampuan memecahkan masalahnya (analisis). Maunya dia bagaimana (konsepnya) dan bagaimana pendapatnya terhadap teman-temannya, guru, dan orang tua. Jadi dia disuruh mencari sendiri permasalahan apa yang dia hadapi, lalu diajak memecahkan masalahnya dan mencari alternatif terbaiknya apa, sesuai dengan berbagai aturan sehari-hari & norma-norma lainnya. Banyaknya 8 kali pertemuan, dan orang tuanya dikursus sekitar 4 kali. Pergrup dan individual. Sebetulnya ini bukan terapi, tetapi lebih memberikan bimbingan.

Dalam pertemuan kemarin untuk memasuki tahap ini, secara sepintas sudah disweep masalahnya apa. Anaknya diinterviu, orang tua diinterviu. Rasanya sih gak enak juga, hi hi... habis kayak menelanjangi kelakuan kita.... hihi... Misalnya ditanya: Menurut kamu mama bagaimana? Dengan sendirinya dijawab: mama selalu marah....Wah.. wah... ya jelas aja selalu marah menurutnya, padahal gak marah, karena kalau ngasih tahu musti berkali-kali, lalu dia bosan ndengernya, katanya gak usah dikasih tahu, soalnya sudah tahu. Tapi kalau gak dikasih tahu dia gak inget, lupa. kalau dikasih tahu, eh marah. Lha ya marah wong dia eigenwijs (bhs Belanda, maksudnya dia hanya mengikuti dorongan internalnya saja, gak mau kalau dikasih
tahu). Jadi padahal yang marah2 dia.

====>

cheers,
-retha-

Dear netters,

kami sekeluarga hanya bisa mengucapkan beribu terima kasih buat netters yg telah memberi tanggapan tentang tulisan saya. Kami tidak bisa membalas kebaikan saudara. Hanya yg diatas yg akan membalasnya. Semoga dari masukan para netters, saya bisa mendidik anak saya dengan lebih baik. Karena banyak orang bilang "mendidik anak perempuan lebih susah daripada menggembala seribu ekor kerbau".

Sekali lagi terima
kasih.

Post a Comment Blogger

 
Top