Anak kami, Johan Imanuel Kirdjo, menderita atresia esofagus (esophageal

atresia/EA), suatu kelainan bawaan di mana kerongkongan dan lambung tidak tersambung (terputus). Kelainan ini merupakan kasus yang jarang terjadi, di Amerika probabilitasnya sekitar 1 dari 4000 kelahiran.

Sampai saat ini tidak diketahui penyebab kelainan ini, hanya diperkirakan bahwa prosesnya terjadi pada minggu ke 4-8 masa kehamilan. Kasus yang dialami Johan adalah �pure esophageal atresia", yang merupakan 8% dari kasus total kasus esophageal atresia.

Kasus yang lebih umum adalah yang disertai dengan �fistula",
di mana salah satu segmen kerongkongan/lambung tersambung ke paru-paru.

Keadaan Johan diperumit dengan kelahirannya yang prematur (30 minggu, 1.45
kg) sehingga tidak bisa segera dilakukan operasi untuk menyambung kerongkongan dan lambungnya. Karena itu sehari setelah dia lahir dilakukan operasi untuk memasang tabung gastrostomy (g-tube) untuk memasukkan makanan dan dibuat lubang di leher bagian bawah untuk mengeluarkan ludah.

Hampir dua bulan Johan "dibesarkan" dalam inkubator (19 hari di NICU dan
sisanya di ruang bayi biasa). Tanggal 14 November kemarin, akhirnya kami diijinkan membawa Johan pulang, ketika berat badannya mencapai 2.5 kg. Dokter bedah anak menjadwalkan operasi besar setelah dia berumur 1 tahun.

Hampir dua minggu merawatnya di rumah, membuat kami semakin sadar betapa hidup tidaklah mudah buat Johan dan buat kami yang merawat dan menyaksikan penderitaannya. Mulutnya yang sampai sekarang tidak pernah kemasukan minuman menjadikan bibirnya kering. Dia kelihatan sangat gelisah ketika udara panas. Sementara kelebihan ludah yang kadang tidak bisa sepenuhnya dikeluar lewat lubang di lehernya, keluar lewat mulutnya. Memberi minum lewat g-tube punya kesulitan tersendiri. Kalau kami telat memberi minum, dia akan menangis meronta-ronta, membuat air susu sulit masuk ke lambungnya yang tegang.
Beberapa kali ini terjadi, ketika kami malam2 antara jam 1-3 kami karena kecapekan tidak terbangun oleh bunyi wecker (Johan diberi minum 3 jam sekali) . Kateter yang menjulur dari lambungnya juga secara tidak sengaja tertarik oleh tangan atau kakinya, yang tentu membuat dia menangis kesakitan. Belum lagi menjaga supaya infeksi tidak terjadi melalui lubang terbuka di leher yang hanya ditutup kasa.

Kemarin dokter mengijinkan mulut Johan dirangsang pakai empeng, supaya rongga mulutnya berkembang. Tapi sejauh ini Johan menolak, bahkan seperti mau muntah kalau diberi empeng. Sepertinya reflek menghisap seperti bayi lain menghisap susu ibu mulai hilang. Singkat kata, saya begitu kuatir membayangkan kehidupannya1 tahun ke depan ini.

Saya cari2 di internet (kebanyakan tentang kasus di Amerika). Umumnya operasi besar dilakukan sesegera mungkin (hitungan hari atau bulan) begitu keadaan memungkinkan (umumnya berat badan 1.7 kg ke atas) dan tidakada komplikasi kelainan lain. Saya dengar di Jerman juga demikian. Dokter kami tampaknya mau anaknya dalam keadaan kuat betul. Tetapi ini juga bukan tanpa resiko. Semakin bertambah besar si anak, maka kemungkinan gap lambung dan perut juga membesar. Belum lagi masalah kesulitan nanti melatih si anak makan dengan normal, karena dia makin tidak terbiasa makan dari mulut.

Saya menulis e-mail ini untuk mencari second opinion. Barang kali teman2 tahu atau kenal dokter yang pernah menangani kasus serupa. Mungkin di jakarta, surabaya atau singapur atau negara lain? Atau kenalorang tua yang anaknya menderita EA juga ?

Terima kasih banyak sebelumnya untuk setiap info. Juga mohon dukungan doa.

Salam kami,

Hesti dan Ageng

-----------------------------------------------
Hesti Wulandari
Dept. of Astronomy
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10
Bandung 40132
INDONESIA
Ph. +62-22-2509170
-----------------------------------------------

Post a Comment Blogger

 
Top